Wednesday, January 15, 2014

Inilah kondisi sumur Irigasi pertanian di Wilayah Madiun (Harian Surya)

Puluhan sumur progam bantuan Proyek Pengembangan Air Tanah (P2AT) yang tersebar di 15 wilayah kecamatan di Kabupaten Madiun mangkrak dan tak difungsikan sejak beberapa tahun terakhir. Pasalnya, para petani enggan menggunakan sumur bantuan propinsi Jawa Timur dan pemerintah pusat itu, lantaran biayanya lebih mahal. Selain itu, mangkraknya sumur P2AT itu, juga disebabkan tidak pernah dirawat dan dipelihara. Rata-rata, sumur bantuan itu hanya berusia 3 sampai 4 tahun. Paska diresmikan penggunaannya, biasanya sudah mangkrak dan tak bisa digunakan lagi. Berdasarkan data yang berhasil dihimpun Surya menyebutkan ada sebanyak 198 unit sumur P2AT dan 190 unit sumur pompa dalam yang tersebar di sejumlah desa yang ada di wilayah Kabupaten Madiun. Namun, sekitar 38 unit sumur mangkrak alias tak difungsikan karena tidak pernah dirawat. Padahal, pembangunan sumur itu rata-rata menelan anggaran Rp 500 juta sampai Rp 800 juta per unit. Sedangkan dari 5.000 sumur pantek (bor) atau sumur pompa yang dibuat petani dengan dana pribadi sekitar 500 sumur tak berfungsi. Selain kurang dalamnya sumur juga disebabkan mesin dieselnya rusak. Padahal, di musim kemarau seperti ini petani hanya mengandalkan sumur bantuan itu untuk mengairi seluruh lahan tanaman padinya. Dampaknya, kalangan petani memilih jalan pintas dan praktis dengan membuat sumur pantek (bor) untuk mengairi lahan pertanian miliknya masing-masing. Kondisi itu, dapat menurunkan air di permukaan tanah lantaran yang disedot sumur pantek adalah air permukaan tanah. Salah satunya, sumur P2AT yang ada di Desa Sumberejo, Kecamatan/kabupaten Madiun. Berdasarkan pantuan Surya bangunan sumur P2AT itu, kini sudah tak difungsikan lagi. Bahkan pagar besi yang mengelilingi bangunan itu sudah hancur. Sedangkan tembok bangunan sumur sudah dicorat coret. Sedangkan mesin bersakala besar yang ada di dalam bangunan itu, sudah tak bisa difungsikan lagi. Bahkan, kondisi di dalamnya kumuh dan rusuh. Beruntung pintu utama untuk masuk ke dalam bangunan kamar mesin pompa besar itu masih terkunci. Salah seorang petani asal Desa Sumberejo, Kecamatan Madiun, Suwarno (51) mengatakan jika sumur P2AT yang ada di desanya itu, sudah mangkrak sejak beberapa tahun terakhir. Hal itu, selain disebabkan sudah tak bisa digunakan lagi, rata-rata petani di desanya keberatan menggunakan sumur P2AT itu. Alasannya, karena harus membayar Rp 40.000 sampai Rp 50.000 per jam. Oleh karenanya, para petani lebih memilih menggunakan sumur bor (sumur pantek) buatannya sendiri lantaran hanya membutuhkan pembelian solar sekiitar 1 liter untuk mengairi lahan pertaniannya dalam satu petak tanaman padi. "Kondisinya sudah seperti itu, karena sudah tak digunakan sumur P2AT itu. Petani dulu keberatan dengan pembayaran penggunaan sumur P2AT itu. Makanya mangkrak dan sekarang tidak pernah diperbaiki dan dirawat lagi," terangnya kepada Surya, Minggu (22/9/2013). Selain itu, Suwarno menjelaskan para petani lebih senang menggunakan dan memanfatkan sumur pantek lantaran bisa digunakan secara bergiliran antar petani satu dengan petani lainnya. Meski untuk membuat sumur pantek (bor) biasanya yang membuat adalah salah seorang petani. Namun petani yang tergolong sebagai tetangga lahan pertaniannya bisa bergantian mengalirkan air dari sumur pantek itu. Pasalnya, di musim kemarau seperti ini lahan pertanian di kampungnya hanya mengandalkan air dari sumur pantek itu. "Kalau tidak ada sumur bor, bisa jadi semua tanaman padi di kampung kami ini mati (puso) karena kekurangan pasokan air," paparnya. Hal yang sama disampaikan petani asal Desa Krandegan, Kecamatan Kebonsari, Kabupaten Madiun, Sarmin (49). Menurutnya, sejumlah petani terpaksa menggunakan sumur pantek yang selama ini dilarang undang-undang itu. Alasannya, sumur pantek diangap lebih mengirit biaya daripada menggunakan sumur P2AT. "Dengan solar setengah liter kami sudah bisa menghidupkan mesin sumur pantek. Kalau menggunakan sumur P2AT butuhkan 5 liter solar," katanya. Kendati demikian, Sarmin mengakui jika menggunakan sumur pompa dalam atau P2AT lebih ramah lingkungan. Karena air yang diambil berasal dari bawah permukaan tanah. Kondisi itu, berbeda dengan sumur pantek atau diesel yang mengambil air sumber di permukaan tanah. "Petani lebih memilih menyelamatkan tanaman padinya di musim kemarau daripada harus memikirkan dampak lingkungannya," ungkapnya. Sementara dikonfirmasi melalui ponselnya, Kepala Dinas Pekerjaan Umum (PU) Pengairan Pemkab Madiun, Antonius Djaka Priyanto mengaku jika sumur pompa dalam di wilayah Kabupaten Madiun ada sebanyak 150 sumur. Rinciannya milik Pemkab Madiun sebanyak 90 unit sumur dan milik P2AT sebanyak 60 unit sumur. "Memang ada anggaran perbaikannya baik untuk sumru P2AT maupun sumur milik Kabupaten Madiun itu. Anggarannya bukan per unit akan tetapi kurang dari Rp 300 juta," pungkas tanpa menyebutkan anggaran itu untuk setahun atau untuk beberapa sumur saja.

No comments:

Post a Comment